Agustus 2003, Perdana Mentri Malaysia, Mahathir Muhammad mengumumkan program kerjasama dengan Rusia untuk mengirimkan astronot Malaysia ke ruang angkasa. Program ini sebagai bagian dari perjanjian kerjasama pembelian pesawat tempur Sukhoi SU-30MKM antara Malaysia dan Rusia. Dalam kerjasama tersebut, Rusia akan membiayai dan melatih dua orang astronot Malaysia dan salah satu diantaranya akan dijadikan kandidat untuk berangkat ke International Space Station (ISS) yang direncanakan pada bulan Oktober 2007.
Program pengiriman astronot ini merupakan program pionir yang akan membawa Malaysia dalam eksplorasi teknologi di masa mendatang. Tujuan utama program ini adalah untuk peningkatan sains dan teknologi dalam masyarakat dan dalam industri. Melalui program ini, tentu saja akan diperoleh ilmu dari Rusia maupun negara lain yang akan dapat digunakan untuk pengembangan space science dan aplikasi zero gravity di malaysia.
Setelah memilih lebih dari 10 ribu kandidat, saat ini telah terpilih dua kandidat utama yang akan belajar di Rusia dan salah satunya akan diterbangkan ke ISS. Keduanya adalah Dr. Sheikh Muszaphar Sukhor, 34 tahun, ahli ortopedi dari RS Universitas Kebangsaan Malysia dan Dr. Faiz Khalid, seorang dokter gigi. Dua September 2007, Dr. Sheikh Muszaphar Sukhor akan menjadi astronot pertama Malaysia yang akan diberangkatkan ke ISS. Keduanya bukan hanya punya kesempatan belajar banyak namun juga mencatatkan nama mereka dalam sejarah Malaysia sebagai orang pertama yang akan berada di ruang angkasa. Mengapa topik ini gue tulis disini?
Well..pagi tadi, gue menerima sms yang mengabarkan terpilihnya astronot Malaysia ini. SMS singkat itu mengatakan Malaysia udah punya astronot. indonesia kapan? Kapan lo jadi astronot vi? Well…. pertanyaan singkat yang mengusik gue. Indonesia kapan? Dulu .. duluuuu.. lupa taon berapa.. Indonesia juga pernah memilih dua calon buat jadi astronot. Tapi kemudian dibatalkan dengan alasan yang tidak jelas. Maaf gue ga bisa nerangin banyak karena memang gue ga punya banyak referensi tentang kejadian tersebut. Tapi yang menjadi menarik dari sms itu, ketika gue ingat selain program angkasawan tersebut, dalam bidang Astronomi, Malaysia sedang gencar-gencarnya bergerak maju.
Di tahun 2007, Malaysia juga akan menjadi tuan rumah International School for Young Astronomer (ISYA) yang ke-29 di Kuala Lumpur dan Langkawi. Sebuah pertanyaan iseng kenapa bukan di Indonesia yang memiliki jurusan astronomi dan observatorium Bosscha? Bukankah akan jadi kesempatan yang baik bagi “putra bangsa” untuk belajar lebih banyak? Atau mungkin kita sudah terlalu pintar sehingga tak perlu lagi belajar? Mungkin kita memang lebih sibuk dengan “politik” sampai lupa dengan “pengembangan pendidikan dan sains”. Yang pasti ISYA di Malaysia ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi para astronom muda dan pecinta astronomi dari asia tenggara. Sebuah kesempatan yang sangat sayang untuk dilewatkan. Selain itu Malaysia juga sedang melakukan pengembangan Robotic Observatorium di Langkawi National Observatory.
Bagaimana dengan Indonesia? Astronomi di Indonesia memang terus bergerak maju. Salah satunya adalah kerjasama dengan Gunma Astronomical Observatory dalam pengembangan remote telescope sistem GAO-ITB serta rencana dibangunnya teleskop radio di Indonesia.
Tapi jika kita melihat dari lingkup negara, maka kita akan melihat hal yang berbanding terbalik dengan Malaysia. Di Malaysia, pemerintah mendukung sepenuhnya pengembangan sains dan teknologi. Sementara di Indonesia, pengembang memiliki “suara” yang lebih hebat. Bayangkan saja, Observatorium Bosscha yang merupakan kawasan ilmiah dan peneitian harus melakukan program “penyelamatan Bosscha”. Penyelamatan dari apa? penyelamatan dari pengembangan kawasan Bandung Utara. Mengapa harus diselamatkan? Sesulit itukah petinggi-petinggi di Indonesia ini bersuara dan mengeluarkan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa kawasan tersebut harus tetap dijaga kondisinya untuk keberlangsungan sains ? Sesulit itukah seorang presiden Indonesia bersuara dan menyatakan bahwa Observatorium Bosscha adalah mata bagi langit selatan yang harus tetap dipertahankan untuk kemajuan sains di Indonesia? Tidak punyakah pemerintah kita visi untuk masa depan? Sesulit itukah sampai Observatorium Bosscha harus “berkampanye” selama beberapa tahun terakhir ini tentang pentingnya kawasan bagi kelangsungan sains dan penidikan astronomi pada negeri ini. Hmm…. mungkin memang sulit kalau kita sudah berbicara tentang proyek di Indonesia. Karena saat kita bicara tentang proyek, maka pengembangan sains maupun pendidikan atau kepentingan masyarakat adalah prioritas nomer 1 paling bawah. Yang pasti Malaysia sudah berpikir jauh kedepan.. merencanakan visi jangka panjang dalam sains teknologi dan industri.
Sangat miris atau mungkin ironi.. ketika negara tetangga kita sedang giat membangun observatorium, negara kita yang sudah punya observatorium justru harus melaksanakan program “selamatkan Bosscha”.
___________
Selamatkan Bosscha sekarang juga !
Quo vadis Observatorium Bosscha?
No comments:
Post a Comment